Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3)
PENDAHULUAN
Di era golbalisasi menuntut pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K3) di setiap tempat kerja termasuk di sektor kesehatan. Untuk itu kita
perlu mengem-bangkan dan meningkatkan K3 disektor kesehatan dalam
rangka menekan serendah mungkin risiko kecelakaan dan penyakit yang
timbul akibat hubungan kerja, serta meningkatkan produktivitas dan
efesiensi.
Dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari karyawan/pekerja di sektor
kesehatan tidak terkecuali di Rumah Sakit maupun perkantoran, akan
terpajan dengan resiko bahaya di tempat kerjanya. Resiko ini bervariasi
mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat tergantung jenis
pekerjaannya.
Dari hasil penelitian di sarana kesehatan Rumah Sakit, sekitar 1.505
tenaga kerja wanita di Rumah Sakit Paris mengalami gangguan
muskuloskeletal (16%) di mana 47% dari gangguan tersebut berupa nyeri di
daerah tulang punggung dan pinggang. Dan dilaporkan juga pada 5.057
perawat wanita di 18 Rumah Sakit didapatkan 566 perawat wanita adanya
hubungan kausal antara pemajanan gas anestesi dengan gejala
neoropsikologi antara lain berupa mual, kelelahan, kesemutan, keram pada
lengan dan tangan.
Di perkantoran, sebuah studi mengenai
bangunan kantor modern di Singapura dilaporkan bahwa 312 responden
ditemukan 33% mengalami gejala Sick Building Syndrome (SBS). Keluhan
mereka umumnya cepat lelah 45%, hidung mampat 40%, sakit kepala 46%,
kulit kemerahan 16%, tenggorokan kering 43%, iritasi mata 37%, lemah
31%.
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 23
mengenai kesehatan kerja disebutkan bahwa upaya kesehatan kerja wajib
diseleng-garakan pada setiap tempat kerja, khususnya tempat kerja yang
mempunyai resiko bahaya kesehatan yang besar bagi pekerja agar dapat
bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat
sekelilingnya, untuk memperoleh produktivitas kerja yang optimal,
sejalan dengan program perlindungan tenaga kerja.
Pengertian Keselamatan dan kesehatan Kerja (K3)
Menurut Mangkunegara (2002, p.163)
Keselamatan
dan kesehatan kerja adalah suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin
keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja
pada khususnya, dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk
menuju masyarakat adil dan makmur.
Menurut Suma’mur (2001, pasal.104)
Keselamatan
kerja merupakan rangkaian usaha untuk menciptakan suasana kerja yang
aman dan tentram bagi para karyawan yang bekerja di perusahaan yang
bersangkutan.
Menurut Simanjuntak (1994)
Keselamatan
kerja adalah kondisi keselamatan yang bebas dari resiko kecelakaan dan
kerusakan dimana kita bekerja yang mencakup tentang kondisi bangunan,
kondisi mesin, peralatan keselamatan, dan kondisi pekerja .
Mathis dan Jackson (2002, pasal. 245)
Keselamatan
adalah merujuk pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang
terhadap cedera yang terkait dengan pekerjaan. Kesehatan adalah merujuk
pada kondisi umum fisik, mental dan stabilitas emosi secara umum.
Menurut Ridley, John (1983) yang dikutip oleh Boby Shiantosia (2000, pasal.6)
Kesehatan
dan Keselamatan Kerja adalah suatu kondisi dalam pekerjaan yang sehat
dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan maupun bagi masyarakat
dan lingkungan sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut.
Jackson (1999, pasal. 222)
Kesehatan
dan Keselamatan Kerja menunjukkan kepada kondisi-kondisi
fisiologis-fisikal dan psikologis tenaga kerja yang diakibatkan oleh
lingkungan kerja yang disediakan oleh perusahaan.
Sekarang
sudah cukup jelas tentang pengertian dari K3 ini. Setiap orang bebas
untuk memberikan pengertian menurut pemahaman dan pemikiran mereka
masing-masing dan Anda pun berhak memberikan pengertian tentang K3 ini
selama itu masih dalam kontek Keselamatan dan Kesehatan Kerja
HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN PELAKSANAAN K3 PERKANTORAN
Ada
beberapa hal penting yang harus mendapatkan perhatian sehubungan dengan
pelaksanaan K3 perkantoran, yang pada dasarnya harus memperhatikan 2
(dua) hal yaitu indoor dan outdoor, yang kalau diurai seperti dibawah ini :
· Konstruksi gedung beserta perlengkapannya dan operasionalisasinya terhadap bahaya kebakaran serta kode pelaksanaannya.
· jaringan elektrik dan komunikasi.
· kualitas udara.
· kualitas pencahayaan.
· Kebisingan.
· Display unit (tata ruang dan alat).
· Hygiene dan sanitasi.
· Psikososial.
· Pemeliharaan.
· Penggunaan Komputer.
PERMASALAHAN DAN REKOMENDASI
Konstruksi gedung :
· Disain arsitektur (aspek K3 diperhatikan mulai dari tahap perencanaan).
· Seleksi material, misalnya tidak menggunakan bahan yang membahayakan seperti asbes dll.
· Seleksi dekorasi disesuaikan dengan asas tujuannya misalnya penggunaan warna yang disesuaikan dengan kebutuhan.
· Tanda
khusus dengan pewarnaan kontras/kode khusus untuk objek penting seperti
perlengkapan alat pemadam kebakaran, tangga, pintu darurat dll. (peta
petunjuk pada setiap ruangan/unit kerja/tempat yang strategis misalnya
dekat lift dll, lampu darurat menuju exit door).
Kualitas Udara :
· Kontrol terhadap temperatur ruang dengan memasang termometer ruangan.
· Kontrol terhadap polusi
· Pemasangan "Exhaust Fan" (perlindungan terhadap kelembaban udara).
· Pemasangan stiker, poster "dilarang merokok".
· Sistim
ventilasi dan pengaturan suhu udara dalam ruang (lokasi udara masuk,
ekstraksi udara, filtrasi, pembersihan dan pemeliharaan secara berkala
filter AC) minimal setahun sekali, kontrol mikrobiologi serta distribusi
udara untuk pencegahan penyakit "Legionairre Diseases ".
· Kontrol terhadap linkungan (kontrol di dalam/diluar kantor).
· Misalnya untuk indoor: penumpukan barang-barang bekas yang menimbulkan debu, bau dll.
Outdoor: disain dan konstruksi tempat sampah yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan, dll.
· Perencanaan jendela sehubungan dengan pergantian udara jika AC mati.
· Pemasangan fan di dalam lift.
Kualitas Pencahayaan (penting mengenali jenis cahaya) :
· Mengembangkan
sistim pencahayaan yang sesuai dengan jenis pekerjaan untuk membantu
menyediakan lingkungan kerja yang sehat dan aman. (secara berkala diukur
dengan Luxs Meter)
· Membantu penampilan visual melalui kesesuaian warna, dekorasi dll.
· Menegembangkan
lingkungan visual yang tepat untuk kerja dengan kombinasi cahaya (agar
tidak terlalu cepat terjadinya kelelahan mata).
· Perencanaan jendela sehubungan dengan pencahayaan dalam ruang.
· Penggunaan tirai untuk pengaturan cahaya dengan memperhatikan warna yang digunakan.
· Penggunaan lampu emergensi (emergency lamp) di setiap tangga.
Jaringan elektrik dan komunikasi (penting agar bahaya dapat dikenali) :
· Internal
· Over voltage
· Hubungan pendek
· Induksi
· Arus berlebih
· Korosif kabel
· Kebocoran instalasi
· Campuran gas eksplosif
· Eksternal
· Faktor mekanik.
· Faktor fisik dan kimia.
· Angin dan pencahayaan (cuaca)
· Binatang pengerat bisa menyebabkan kerusakan sehingga terjadi hubungan pendek.
· Manusia yang lengah terhadap risiko dan SOP.
· Bencana alam atau buatan manusia.
· Rekomendasi
· Penggunaan central stabilizer untuk menghindari over/under voltage.
· Penggunaan
stop kontak yang sesuai dengan kebutuhan (tidak berlebihan) hal ini
untuk menghindari terjadinya hubungan pendek dan kelebihan beban.
· Pengaturan tata letak jaringan instalasi listrik termasuk kabel yang sesuai dengan syarat kesehatan dan keselamatan kerja.
· Perlindungan terhadap kabel dengan menggunakan pipa pelindung.
Kontrol terhadap kebisingan :
· Idealnya ruang rapat dilengkapi dengan dinding kedap suara.
· Di depan pintu ruang rapat diberi tanda " harap tenang, ada rapat ".
· Dinding isolator khusus untuk ruang genset.
· Hak-hal lainnya sudah termasuk dalam perencanaan konstruksi gedung dan tata ruang.
Display unit (tata ruang dan letak) :
· Petunjuk disain interior supaya dapat bekerja fleksibel, fit, luas untuk perubahan posisi, pemeliharaan dan adaptasi.
· Konsep disain dan dan letak furniture (1 orang/2 m²).
· Ratio ruang pekerja dan alat kerja mulai dari tahap perencanaan.
· Perhatikan adanya bahaya radiasi, daerah gelombang elektromagnetik.
· Ergonomik aspek antara manusia dengan lingkungan kerjanya.
· Tempat untuk istirahat dan shalat.
· Pantry dilengkapi dengan lemari dapur.
· Ruang tempat penampungan arsip sementara.
· Workshop station (bengkel kerja).
Hygiene dan Sanitasi :
· Ruang kerja
· Memelihara kebersihan ruang dan alat kerja serta alat penunjang kerja.
· Secara periodik peralatan/penunjang kerja perlu di up grade.
· Toilet/Kamar mandi
· Disediakan tempat cuci tangan dan sabun cair.
· Membuat petunjuk-petunjuk mengenai penggunaan closet duduk, larangan berupa gambar dll.
· Penyediaan bak sampah yang tertutup.
· Lantai kamar mandi diusahakan tidak licin.
· Kantin
· Memperhatikan personal hygiene bagi pramusaji (penggunaan tutup kepala, celemek, sarung tangan dll).
· Penyediaan air mengalir dan sabun cair.
· Lantai tetap terpelihara.
· Penyediaan makanan yang sehat dan bergizi seimbang. Pengolahannya tidak menggunakan minyak goreng secara berulang.
· Penyediaan bak sampah yang tertutup.
· Secara umum di setiap unit kerja dibuat poster yang berhubungan dengan pemeliharaan kebersihan lingkungan kerja.
· Psikososial
· Petugas keamanan ditiap lantai.
· Reporting system (komunikasi) ke satuan pengamanan.
Mencegah budaya kekerasan ditempat kerja yang disebabkan oleh :
· Budaya nrimo.
· Sistem pelaporan macet.
· Ketakutan melaporkan.
· Tidak tertarik/cuek dengan lingkungan sekitar.
· Semua hal diatas dapat diatasi melalui pembinaan mental dan spiritual secara berkala minimal sebulan sekali.
· Penegakan disiplin ditempat kerja.
· Olah raga di tempat kerja, sebelum memulai kerja.
· Menggalakkan olah raga setiap jumat.
· Pemeliharaan
· Melakukan
walk through survey tiap bulan/triwulan atau semester, dengan
memperhitungkan risiko berdasarkan faktor-faktor konsekuensi, pajanan
dan kemungkinan terjadinya.
· Melakukan corrective action apabila ada hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan.
· Pelatihan tanggap darurat secara periodik bagi pegawai.
· Pelatihan
investigasi terhadap kemungkinan bahaya bom/kebakaran/demostrasi/
bencana alam serta Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) bagi satuan
pengaman.
Aspek K3 perkantoran (tentang penggunaan komputer). Pergunakan komputer secara sehat, benar dan nyaman,
Hal-hal yang harus diperhatikan :
· Memanfaatkan kesepuluh jari.
· Istirahatkan mata dengan melihat kejauhan setiap 15-20 menit.
· Istirahat 5-10 menit tiap satu jam kerja.
· Lakukan peregangan.
· Sudut lampu 45º.
· Hindari cahaya yang menyilaukan, cahaya datang harus dari belakang.
· Sudut pandang 15º, jarak layar dengan mata 30 – 50 cm.
· Kursi ergonomis (adjusted chair).
· jarak meja dengan paha 20 cm
· Senam waktu istirahat.
· Rekomendasi
· Perlu membuat leaflet/poster yang berhubungan dengan penggunaan komputer disetiap unit kerja.
· Mengusulkan pada Pusat Promosi Kesehatan untuk membuat poster/leaflet.
· Penggunaan komputer yang bebas radiasi (Liquor Crystal Display).
HSE
(Health, Safety, Environment,) atau di beberapa perusahaan juga disebut
EHS, HES, SHE, K3LL (Keselamatan & Kesehatan Kerja dan Lindung
Lingkungan) dan SSHE (Security, Safety, Health, Environment). Semua itu
adalah suatu Departemen atau bagian dari Struktur Organisasi Perusahaan
yang mempunyai fungsi pokok terhadap implementasi Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) mulai dari Perencanaan,
Pengorganisasian, Penerapan dan Pengawasan serta Pelaporannya.
Sementara, di Perusahaan yang mengeksploitasi Sumber Daya Alam ditambah
dengan peran terhadap Lingkungan (Lindungan Lingkungan).
Membicarakan
HSE bukan sekedar mengetengahkan Issue seputar Hak dan Kewajiban,
tetapi juga berdasarkan Output, yaitu korelasinya terhadap Produktivitas
Keryawan. Belum lagi antisipasi kecelakaan kerja apabila terjadi Kasus
karena kesalahan prosedur ataupun kesalahan pekerja itu sendiri (naas).
DASAR HUKUM
Ada
minimal 53 dasar ocia tentang K3 dan puluhan dasar ocia tentang
Lingkungan yang ada di Indonesia. Tetapi, ada 4 dasar ocia yang sering
menjadi acuan mengenai K3 yaitu:
Pertama,
dalam Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja,
disana terdapat Ruang Lingkup Pelaksanaan, Syarat Keselamatan Kerja,
Pengawasan, Pembinaan, Panitia Pembina K-3, Tentang Kecelakaan,
Kewajiban dan Hak Tenaga Kerja, Kewajiban Memasuki Tempat Kerja,
Kewajiban Pengurus dan Ketentuan Penutup (Ancaman Pidana). Inti dari UU
ini adalah, Ruang lingkup pelaksanaan K-3 ditentukan oleh 3 unsur:
· Adanya Tempat Kerja untuk keperluan suatu usaha.
· Adanya Tenaga Kerja yang bekerja di sana.
· Adanya bahaya kerja di tempat itu.
Dalam
Penjelasan UU No. 1 tahun 1970 pasal 1 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2918, tidak hanya bidang Usaha bermotif Ekonomi
tetapi Usaha yang bermotif ocial
pun (usaha Rekreasi, Rumah Sakit, dll) yang menggunakan Instalasi
Listrik dan atau Mekanik, juga terdapat bahaya (potensi bahaya
tersetrum, korsleting dan kebakaran dari Listrik dan peralatan Mesin
lainnya).
Kedua,
UU No. 21 tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81
Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce (yang mana
disahkan 19 Juli 1947). Saat ini, telah 137 negara (lebih dari 70%)
Anggota ILO meratifikasi (menyetujui dan memberikan sanksi formal) ke
dalam Undang-Undang, termasuk Indonesia .
Ada
4 alasan Indonesia meratifikasi ILO Convention No. 81 ini, salah
satunya adalah point 3 yaitu baik UU No. 3 Tahun 1951 dan UU No. 1 Tahun
1970 keduanya secara eksplisit belum mengatur Kemandirian profesi
Pengawas Ketenagakerjaan serta Supervisi tingkat pusat (yang diatur
dalam pasal 4 dan pasal 6 Konvensi tersebut) – sumber dari Tambahan
Lembaran Negara RI No. 4309.
Ketiga,
UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Paragraf 5
tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, pasal 86 dan 87. Pasal 86 ayat
1berbunyi: “Setiap Pekerja/ Buruh mempunyai Hak untuk memperoleh
perlindungan atas (a) Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”
Aspek
Ekonominya adalah Pasal 86 ayat 2: ”Untuk melindungi keselamatan
Pekerja/ Buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal
diselenggarakan upaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”
Sedangkan
Kewajiban penerapannya ada dalam pasal 87: “Setiap Perusahaan wajib
menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang
terintegrasi dengan Sistem Manajemen Perusahaan.”
Keempat,
Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-05/MEN/1996 tentang Sistem
Manajemen K3. Dalam Permenakertrans yang terdiri dari 10 bab dan 12
pasal ini, berfungsi sebagai Pedoman Penerapan Sistem Manajemen K-3
(SMK3), mirip OHSAS 18001 di Amerika atau BS 8800 di Inggris
HUKUM KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Keselamatan
dan kesehatan kerja (K3) merupakan instrumen yang memproteksi pekerja,
perusahaan, lingkungan hidup, dan ma-syarakat sekitar dari bahaya akibat
kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib
dipenuhi oleh perusahaan. K3 bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan
menihilkan risiko kecelakaan kerja (zero accident). Penerapan konsep ini
tidak boleh dianggap sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak biaya (cost) perusahaan,
melainkan harus dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang
memberi keuntungan yang berlimpah pada masa yang akan datang.
Bagaimana
K3 dalam perspektif hukum? Ada tiga aspek utama hukum K3 yaitu norma
keselamatan, kesehatan kerja, dan kerja nyata. Norma keselamatan kerja
merupakan sarana atau alat untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja
yang tidak diduga yang disebabkan oleh kelalaian kerja serta lingkungan
kerja yang tidak kondusif. Konsep ini diharapkan mampu menihilkan
kecelakaan kerja sehingga mencegah terjadinya cacat atau kematian
terhadap pekerja, kemudian mencegah terjadinya kerusakan tempat dan
peralatan kerja. Konsep ini juga mencegah pencemaran lingkungan hidup
dan masyarakat sekitar tempat kerja.Norma kesehatan kerja diharapkan
menjadi instrumen yang mampu menciptakan dan memelihara derajat
kesehatan kerja setinggi-tingginya.
K3
dapat melakukan pencegahan dan pemberantasan penyakit akibat kerja,
misalnya kebisingan, pencahayaan (sinar), getaran, kelembaban udara, dan
lain-lain yang dapat menyebabkan kerusakan pada alat pendengaran,
gangguan pernapasan, kerusakan paru-paru, kebutaan, kerusakan jaringan
tubuh akibat sinar ultraviolet, kanker kulit, kemandulan, dan lain-lain.
Norma kerja berkaitan dengan manajemen perusahaan. K3 dalam konteks ini
berkaitan dengan masalah pengaturan jam kerja, shift, kerja wanita,
tenaga kerja kaum muda, pengaturan jam lembur, analisis dan pengelolaan
lingkungan hidup, dan lain-lain. Hal-hal tersebut mempunyai korelasi
yang erat terhadap peristiwa kecelakaan kerja.
Eksistensi
K3 sebenarnya muncul bersamaan dengan revolusi industri di Eropa,
terutama Inggris, Jerman dan Prancis serta revolusi industri di Amerika
Serikat. Era ini ditandai adanya pergeseran besar-besaran dalam
penggunaan mesin-mesin produksi menggantikan tenaga kerja manusia.
Pekerja hanya berperan sebagai operator. Penggunaan mesin-mesin
menghasilkan barang-barang dalam jumlah berlipat ganda dibandingkan
dengan yang dikerjakan pekerja sebelumnya. Revolusi IndustriNamun,
dampak penggunaan mesin-mesin adalah pengangguran serta risiko
kecelakaan dalam lingkungan kerja. Ini dapat menyebabkan cacat fisik dan
kematian bagi pekerja. Juga dapat menimbulkan kerugian material yang
besar bagi perusahaan. Revolusi industri juga ditandai oleh semakin
banyak ditemukan senyawa-senyawa kimia yang dapat membahayakan
keselamatan dan kesehatan fisik dan jiwa pekerja (occupational accident)
serta masyarakat dan lingkungan hidup.
Pada
awal revolusi industri, K3 belum menjadi bagian integral dalam
perusahaan. Pada era in kecelakaan kerja hanya dianggap sebagai
kecelakaan atau resiko kerja (personal risk), bukan tanggung jawab
perusahaan. Pandangan ini diperkuat dengan konsep common law defence
(CLD) yang terdiri atas contributing negligence (kontribusi kelalaian),
fellow servant rule (ketentuan kepegawaian), dan risk assumption (asumsi
resiko) (Tono, Muhammad: 2002).
Kemudian
konsep ini berkembang menjadi employers liability yaitu K3 menjadi
tanggung jawab pengusaha, buruh/pekerja, dan masyarakat umum yang berada
di luar lingkungan kerja.Dalam konteks bangsa Indonesia, kesadaran K3
sebenarnya sudah ada sejak pemerintahan kolonial Belanda. Misalnya, pada
1908 parlemen Belanda mendesak Pemerintah Belanda memberlakukan K3 di
Hindia Belanda yang ditandai dengan penerbitan Veiligheids Reglement,
Staatsblad No. 406 Tahun 1910. Selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda
menerbitkan beberapa produk hukum yang memberikan perlindungan bagi
keselamatan dan kesehatan kerja yang diatur secara terpisah berdasarkan
masing-masing sektor ekonomi.
Beberapa
di antaranya yang menyangkut sektor perhubungan yang mengatur lalu
lintas perketaapian seperti tertuang dalam Algemene Regelen Betreffende
de Aanleg en de Exploitate van Spoor en Tramwegen Bestmend voor Algemene
Verkeer in Indonesia (Peraturan umum tentang pendirian dan perusahaan
Kereta Api dan Trem untuk lalu lintas umum Indonesia) dan Staatblad 1926
No. 334, Schepelingen Ongevallen Regeling 1940 (Ordonansi Kecelakaan
Pelaut), Staatsblad 1930 No. 225, Veiligheids Reglement (Peraturan
Keamanan Kerja di Pabrik dan Tempat Kerja), dan sebagainya. Kepedulian
Tinggi Pada awal zaman kemerdekaan, aspek K3 belum menjadi isu strategis
dan menjadi bagian dari masalah kemanusiaan dan keadilan. Hal ini dapat
dipahami karena Pemerintahan Indonesia masih dalam masa transisi
penataan kehidupan politik dan keamanan nasional. Sementara itu,
pergerakan roda ekonomi nasional baru mulai dirintis oleh pemerintah dan
swasta nasional.
K3
baru menjadi perhatian utama pada tahun 70-an searah dengan semakin
ramainya investasi modal dan pengadopsian teknologi industri nasional
(manufaktur). Perkembangan tersebut mendorong pemerintah melakukan
regulasi dalam bidang ketenagakerjaan, termasuk pengaturan masalah K3.
Hal ini tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1070 tentang Keselamatan Kerja,
sedangkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan sebelumnya
seperti UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No. 14 Tahun 1969
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja tidak menyatakan
secara eksplisit konsep K3 yang dikelompokkan sebagai norma
kerja.Setiap tempat kerja atau perusahaan harus melaksanakan program K3.
Tempat kerja dimaksud berdimensi sangat luas mencakup segala tempat
kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan tanah, dalam air, di
udara maupun di ruang angkasa.
Pengaturan
hukum K3 dalam konteks di atas adalah sesuai dengan sektor/bidang
usaha. Misalnya, UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkerataapian, UU No. 14
Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), UU No. 15
Tahun 1992 tentang Penerbangan beserta peraturan-peraturan pelaksanaan
lainnya. Selain sekor perhubungan di atas, regulasi yang berkaitan
dengan K3 juga dijumpai dalam sektor-sektor lain seperti pertambangan,
konstruksi, pertanian, industri manufaktur (pabrik), perikanan, dan
lain-lain.Di era globalisasi saat ini, pembangunan nasional sangat erat
dengan perkembangan isu-isu global seperti hak-hak asasi manusia (HAM),
lingkungan hidup, kemiskinan, dan buruh. Persaingan global tidak hanya
sebatas kualitas barang tetapi juga mencakup kualitas pelayanan dan
jasa. Banyak perusahaan multinasional hanya mau berinvestasi di suatu
negara jika negara bersangkutan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap
lingkungan hidup. Juga kepekaan terhadap kaum pekerja dan masyarakat
miskin. Karena itu bukan mustahil jika ada perusahaan yang peduli
terhadap K3, menempatkan ini pada urutan pertama sebagai syarat
investasi.
TUJUAN PENERAPAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA :
Secara
umum, kecelakaan selalu diartikan sebagai kejadian yang tidak dapat
diduga. Kecelakaan kerja dapat terjadi karena kondisi yang tidak membawa
keselamatan kerja, atau perbuatan yang tidak selamat. Kecelakaan kerja
dapat didefinisikan sebagai setiap perbuatan atau kondisi tidak selamat
yang dapat mengakibatkan kecelakaan. Berdasarkan definisi kecelakaan
kerja maka lahirlah keselamatan dan kesehatan kerja yang mengatakan
bahwa cara menanggulangi kecelakaan kerja adalah dengan meniadakan unsur
penyebab kecelakaan dan atau mengadakan pengawasan yang ketat.
(Silalahi, 1995)
Keselamatan
dan kesehatan kerja pada dasarnya mencari dan mengungkapkan kelemahan
yang memungkinkan terjadinya kecelakaan. Fungsi ini dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu mengungkapkan sebab-akibat suatu kecelakaan dan
meneliti apakah pengendalian secara cermat dilakukan atau tidak.
Menurut Mangkunegara (2002, p.165) bahwa tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut:
a. Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara fisik, sosial, dan psikologis.
b. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya selektif mungkin.
c. Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya.
d. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai.
e. Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.
f. Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau kondisi kerja.
g. Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja
PENUTUP
Dalam
pelaksanaan K3 perkantoran perlu memperhatikan 2(dua) hal penting yakni
indoor dan outdoor. Baik perhatian terhadap konstruksi gedung beserta
perlengkapannya dan operasionalisasinya terhadap bahaya kebakaran serta
kode pelaksanannya maupun terhadap jaringan elektrik dan komunikasi,
kualitas udara, kualitas pencahayaan, kebisingan, display unit (tata
ruang dan alat), hygiene dan sanitasi, psikososial, pemeliharaan maupun
aspek lain mengenai penggunaan komputer.
Hal
diatas tidak hanya meningkatkan dari sisi kesehatan maupun sisi
keselamatan karyawan/pekerja dalam melakukan pekerjaan di tempat
kerjanya.
Harapannya rekomendasi ini dapat dijadikan sebagai acuan ataupun
perbandingan dalam rangka meningkatkan pelaksanaan K3 khususnya di
perkantoran.